Semantik

PENDAHULUAN
Bahasa merupakan sistem komunikasi yang amat penting bagi manusia. Sebagai suatu unsur yang dinamik, bahasa senantiasa dianalisis dan dikaji dengan menggunakan berbagai pendekatan untuk mengkajinya. Antara pendekatan yang dapat digunakan untuk mengkaji bahasa ialah pendekatan makna. Semantik merupakan salah satu bidang linguistik yang mempelajari tentang makna.
Semantik di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris semantics, dari bahasa Yunani Sema (Nomina) ‘tanda’: atau dari verba samaino ‘menandai’, ‘berarti’. Istilah tersebut digunakan oleh para pakar bahasa untuk menyebut bagian ilmu bahasa yang mempelajari makna. Semantik merupakan bagian dari tiga tataran bahasa yang meliputi fonologi, tata bahasa (morfologi-sintaksis) dan semantik. Istilah semantik baru muncul pada tahun 1984 yang dikenal melalui American Philological Association ‘organisasi filologi amerika’ dalam sebuah artikel yang berjudul Reflected Meanings: A point in Semantics. Istilah semantik sendiri sudah ada sejak abad ke-17 bila dipertimbangkan melalui frase semantics philosophy.
Semantik dinyatakan dengan tegas sebagai ilmu makna, baru pada tahun 1990-an dengan munculnya Essai de semantikue dari Breal, yang kemudian pada periode berikutnya disusul oleh karya Stern. Tetapi, sebelum kelahiran karya stern, di Jenewa telah diterbitkan bahan, kumpulan kuliah dari seorang pengajar bahasa yang sangat menentukan perkembangan linguistik berikutnya, yakni Ferdinand de Saussure, yang berjudul Cours de Linguistikue General. Pandangan Saussure itu menjadi pandangan aliran strukturalisme. Menurut pandangan strukturalisme de Saussure, bahasa merupakan satu sistem yang terdiri atas unsur-unsur yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan (the whole unified). Pandangan ini kemudian dijadikan titik tolak penelitian, yang sangat kuat mempengaruhi berbagai bidang penelitian, terutama di Eropa. Untuk lebih jelasnya lagi, ilmu linguistik yang mempelajari tentang makna kata ini akan dibahas pada bab selanjutnya.

PEMBAHASAN
A. Pengertian/Hakekat Makna
Semantik (Bahasa Yunani: semantikos, memberikan tanda, penting, dari kata sema, tanda) adalah cabang linguistik yang mempelajari makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Semantik biasanya dikontraskan dengan dua aspek lain dari ekspresi makna: sintaksis, pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, serta pragmatika, penggunaan praktis simbol oleh agen atau komunitas pada suatu kondisi atau konteks tertentu
Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu melekat dari apa saja yang kita tuturkan. Pengertian dari makna sendiri sangatlah beragam. Mansoer Pateda (2001:79) mengemukakan bahwa istilah makna merupakan kata-kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada tuturan kata maupun kalimat. Menurut Ullman (dalam Mansoer Pateda, 2001:82) mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian. Dalam hal ini Ferdinand de Saussure ( dalam Abdul Chaer, 1994:286) mengungkapkan pengertian makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu tanda linguistik. Menurutnya, setiap tanda linguistik/tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu kompenen signifikan atau “yang mengartikan” yang wujudnya berupa runtutan bunyi, dan komponen signifie atau “yang diartikan” yang wujudnya berupa pengertian atau konsep. Tanda linguistik berupa(ditampilkan dalam bentuk ortografis)
, terdiri dari runtutan fonem /m/, /e/, /j/, dan /a/ dan signifie berupa makna/konsep sejenis perabot kantor/rumah tangga.
Dalam Kamus Linguistik, pengertian makna dijabarkan menjadi :
1. maksud pembicara;
2. pengaruh penerapan bahasa dalam pemakaian persepsi atau perilaku manusia atau kelompok manusia;
3. hubungan dalam arti kesepadanan atau ketidaksepadanan antara bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjukkannya,dan
4. cara menggunakan lambang-lambang bahasa ( Harimurti Kridalaksana, 2001: 132).
Bloomfied (dalam Abdul Wahab, 1995:40) mengemukakan bahwa makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya. Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin (1998:50) mengemukakan bahwa makna merupakan hubungan antara bahasa dengan bahasa luar yang disepakati bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti.
Dari pengertian para ahli bahasa di atas, dapat dikatakan bahwa batasan tentang pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau kata.
B. Jenis Makna
a. Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks apapun. Dengan kata lain, makna lesikal adalah makna ya sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita, atau makna apa adanya.
Contoh:
kuda memiliki makna leksikal sejenis binatang berkaki empat yang bisa dikendarai.
Makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi, atau kalimatisasi. Misalnya, dalam proses afiksasi prefik ber- dengan kata dasar baju melahirkan makna gramatikal mengenakan atau memakai baju.
Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada didalam satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu dan lingkungan penggunaan bahasa itu.
Contoh:
Sebagai kepala sekolah dia harus menegur murid itu.
Rambut di kepala nenek belum ada yang putih.
b. Makna Refensial dan Non-refensial
Makna refensial adalah makna sebuah kata atau leksem kalau ada refernsnya, atau acuannya. Sebaliknya kalau tidak ada refernsnya atau acuannya, berarti Non-refensial. Berkenaan dengan acuan ini ada sejumlah kata yang disebut kata-kata diektik, yaitu kata yang acuannya tidak menetap pada satu maujud, melainkan dapat berpindah dari maujud yang satu keada maujd yang lain. Yang termasuk kata-kata deiktik yaitu: dia, saya, kamu, di sini, di sana, di situ, sekarang, besok, nanti, ini, itu.
c. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal, atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif ini sebenarnya sama dengan makna leksikal.
Makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif yang berhubungan dengan nilai rasa dari orang atau kelompok orang yang menggunakan kata tersebut.
Contoh:
Kata kurus, ramping, dan kerempeng itu dapat disimpulkan, bahwa ketiga kata itu secara denotatif mempunyai maknayang sama atau bersinonim, tetapi ketiganya memiliki konotasi yang tidak sama;kurus berkonotasi netral, ramping berkonotasi positif, dan kerempeng berkonotasi negatif.
d. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Makna konseptual sama saja dengan makna leksikal, makna denotatif, dan makna refensial, yaitu makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apa pun.
Misalnya, kata rumah memiliki makna konseptual bangunan tempat tinggal manusia.
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata berkenan dengan adanya hubungan kata itu dengan suatu yang berada diluar bahasa.
Contoh:
Kata melati berasosiasi dengan sesuatu yang suci atau kesucian.
Kata merah berasosiasi dengan berani.
Makna asosiatif ini sebenarnya sama dengan lambang atau perlambang yang digunakanoleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri yang ada pada konsep asal kata atau laksem tersebut.
e. Makna Kata dan Makna Istilah
Dalam pengunaan makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Oleh karana itu dapat dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas.
Kata tangan dan lengan sebagai kata, maknanya lazimdianggap sama, seperti pada contoh berikut:
Tangannya luka kena pecahan kaca.
Lengannya luka kena pecahan kaca.
Jadi, kata tangan dan lengan pada kedua kalimat diatas adalah bersinonim, atau bermakna sama.
Berbeda dengan kata, Istilah mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks. Istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.
Misalnya, kata tangan dan lengan itu dalam bidang kedokteran mempunyai makna yang berbeda.
Tangan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke jari tangan.
Lengan bermakna bagian dari pergelangan sampai ke pangkal bahu.
Jadi, kata tangan dan lengan sebagai istilah dalam ilmu kedokteran tidak bersinonim, karena maknanya berbeda.
f. Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Idiom dibedakan menjadi dua macam, yaitu idiom penuh dan idiom sebagian. Yang dimaksud idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan, sehingga maknanya berasal dari seluruh kesatuan itu. Contohnya, membanting tulang, menjual gigi, dan meja hijau. Sedangkan idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya,daftar hitam yang bermakna daftar yang memuat nama-nama orang yang diduga atau dicurigai berbuat kejahatan.
Berbeda dengan idiom yang maknanya tidak dapat diramalkan, maka yang disebut peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditrlusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya asosiasiasi antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Misalnya, peribahasa seperti anjing dengan kucing yang bermakna dikatakan ihwal dua orang yang tidak pernah akur. Makna ini berasosiasi, bahwa binatang yang namanya anjingdan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.
C. Relasi Makna
Yang dimaksud dengan relasi makna adalah hubungan semantic yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa di sini dapat berupa kata, fase, maupun kalimat, dan relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna, atau juga kelebihan makna. Dalam pembicaraan masalah-masalah yang disebut sinonim, antonim, polisemi, homonimi, ambiguiti, dan rendundasi.
1. Sinonim
Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Misalnya, antara kata Betul dengan kata Benar, antara kata Hamil dan fase duduk perut, dan antara kalimat Dika menendang bola dengan Bola ditendang Dika. Contoh dalam bahasa inggris, antara kata dengan kata fall dengan kata autumn.
Relasi sinonim ini bersifat dua arah. Maksudnya, kalau satu satuan ujaran A bersinonim dengan satuan ujaran B, maka satuan ujaran B itu bersinonim dengan satuan ujaran A. Secara konkret kalau kata Betul bersinonim dengan kata Benar itu pun bersinonim dengan kata betul. Ketidaksamaan itu terjadi karena berbagai faktor, antara lain: faktor waktu, faktor tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor social, bidang kegiatan,dan faktor nuansa makna
2. Antonim
Antonim atau antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara satu dengan yang lain. Misalnya, kata buruk berantonim dengan kata baik , kata mati berantonim dengan kata hidup, kata guru berantonim dengan kata murid, dan kata membeli berantonim dengan kata menjual.
3. Polisemi
Sebuah kata atau satuan ujaran disebut polisemi kalau kata itu mempunyai makna lebih dari satu. Umpamanya, kata kepala yang setidaknya mempunyai makna
(1) Bagian tubuh manusia, seperti pada contoh kalimat: kepalanya luka karena pecahan kaca.
(2) Kepala atau pemimpin, seperti pada contoh kalimat: kepala kantor itu bukan paman saya.
(3) Sesuatu yang berada di sebelah atas, seperti contoh kalimat: kepala surat biasanya berisi nama, dan alamat kantor.
(4) Sesuatu yang berbentuk bulat, seperti contoh kalimat: kepala jarum itu terbuat dari plastik.
(5) Sesuatu atau bagian yang sangat penting, seperti contoh kalimat: yang duduk dikepala meja tentu orang penting.


4. Homonimi
Homonimi adalah dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama; makna tentunya saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Misalnya antara kata bisa yang berarti racun “ular” dan kata bisa yang berarti “sanggup”. Sama dengan sinonimi dan antonimi, relasi antara dua buah satuan ujaran yang homonimi juga berlaku dua arah.
Pada kasus homonimi ini ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu homofoni dan homografi. Yang dimaksud dengan homofoni adalah adanya kesamaan bunyi (fon) antara dua satuan ujaran, tanpa memperhatikan ejaannya, apakah ejaannya sama ataukah berbeda. Dalam bahasa Indonesia bentuk-bentuk homofon yang ejaannya berbeda tidak banyak, karena sistem ejaan bahasa Indonesia cukup baik. Istilah homografi mengacu pada bentuk ujaran yang sama ortografinya atau ejaannya, tetapi ucapan dan maknanya tidak sama.
5. Hiponimi
Homonimi adalah hubungan simantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain. Umpamanya antara kata merpati dan kata burung. Disini kita lihat makna kata merpati tercakup dalam makna kata burung. Kita dapat mengatakan merpati adalah burung, tetapi burung bukanlah merpati, bisa juga tekukur, perkutut, balam, kepodang , dan cendrawasih.
6. Ambiguiti atau Ketaksaan
Ambiguiti atau Ketaksaan adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal yang berbeda ini umumnya terjadi pada bahasa tulis, karena dalam bahasa tulis unsure supra segmental tidak dapat dapat di gambarkan dengan akurat. Misalnya, bentuk buku sejarah baru dapat ditafsirkan maknanya menjadi:
1. Buku sejarah itu baru terbit, atau
2. Buku itu memuat sejarah zaman baru.
Kemunkinan makna 1 dan 2 itu terjadi karena kata baru yang ada dalam kontruksi itu, dapat dianggap menerangkan frase buku sejarah, dapat juga dianggap hanya menerangkan kata sejarah.

7. Redundansi
Istilah redundansi biasanya diartikan sebagai berlebih-lebihannya penggunaan unsur segmental dalam suatu bentuk ajaran. Sebenarnya menurut ilmu simantik yang diajukan Verhaar (1978), makna kalimat bola itu ditendang oleh dika dan bola itu ditendang dika adalah tidak sama. Yang sama hanyalah informasinya. Dengan adanya kata oleh pada kalimat pertama, maka peran objek pelaku lebih ditonjolkan. Pada kalimat kedua, yang tanpa preposisi oleh, penonjolan peran pelaku itu tidak ada. Memang dalam ragam bahasa baku kita dituntut untuk menggunakan kata-kata secara efisien, sehingga kata-kata yang dianggap berlebihan, sepanjang tidak mengurangi atau mengganggu makna (lebih tepat informasi), harus dibuang. Tetapi dalam analisis semantik, setiap penggunaan unsur segmental dianggap membawa makna masing-masing.
D. Perubahan Makna
Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah, tetapi secara diakronis ada kemungkinan dapt berubah. Maksudnya, dalam masa yang relatif singka, makna sebuah kata akan tetap sama, tidak berubah, tetapi dalam waktu yang relatif lama ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah. Ada kemungkinan makna ini tidak berlaku untuk semua kosakatayang terdapat dalam sebuah bahasa, melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata saja yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
1. Perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya kata sastra yang bermula ”tulisan, kata” lalu berubah menjadi makna ”bacaan” kemudian berubah lagi menjadi makna ”buku yang baik isinya dan baik pula bahasanya”. Selanjutnya berkembang ;lagi menjadi ”karya bahasa yang bersifat imajinatif dan kreatif.
2. perkembangan sosial dan budaya, misalnya kata saudara pada mulanya saudara sekandung, tetapi kini kata saudara digunakan juga untuk menyebut orang lain sebagai kata sapaan. Pada masa feodal dulu untuk menyebut orang yang dihormati, digunakan kata tuan. Kini kata tuan berganti dengan kata bapiak.
3. Perkembangan pemakaian kata. Setiap bidang kegiatan atau keilmuan biasanya mempunyai sejumlah kosakata yang berkenaan dengan bidangnya itu. Misalnya dalam bidang pertanian kita menemukan kosakata seperti menggarap, menuai, pupuk, dll. Kosa kata yang biasanya digunakan dalam bidang-bidang itu, dalam perkembangan kemudian digunakan juga dalam bidang-bidang lain, dengan makna baru atau agak lain dengan makna aslinya. Misalnya kata menggarap dalam bidang pertanian digunakan juga dalam bidang lain dengan makna mengerjakan atau membuat. Seperti dalam menggarap skripsi.
4. Pertukaran tanggapan indra (sinestesia)Alat ibndra kita yang lima mempunyai fungsi masing-masing untuk menangkap gejala-gejala yang ada. Misalnya rasa getir panas, asin, ditangkap dengan alat indra perasa yaitu lidah. Gejala yang berkenaan dengan ditangkap dengan alat indra pendengar telinga, dan gejala yang terang dn gelap ditangkap dengan indra mata. Namun dalam pemakaian perkembangan bahasa banyak terjadi pertkukaran pemakaian alat indrauntuk menangakap gejala yang terjadi di sekitar. Misalnya, rasa pedas yang seharusnya ditangkap oleh indra perasa. Menjadi ditangkap oleh alat pendengar telinga seperti dalam kalimat kata-katanya sangat pedas didengar.
5. adanya asosiasi atau adanya hubungan antara sebuah bentuk ujaran dengan sesuatu yang lain yang berkanaan dengan bentuk ujaran. Misalnya kata amplop sebenarnya adalah sampul surat tetapi dalam kalimat pejabat itu sering menerima amplop, maka dalam kalimat itu bermakna suap.
Macam-macam perubahan makna kata
1. Meluas maksudnya makna sekatrang
2. Menyampit
3. Total maksudnya makna yang dimiliki sekarang sudah jauh berbeda dengan makna aslinya. Misalnya kata ceramah duliu bermakna cerewet atau banyak cakap, sekarang bermakna uraian mengenai suatu hal di muka orang banyak.
E. Medan Makna dan Komponen Makna
Kata-kata dalam setiap bahasa dapat dikelompokkan atas kelompok-kelompok tertentu berdasarekan kesamaan ciri semantik yang dimiliki. Misalnya kata kuning, hitam, putih berada dalam satu kelompok yaitu warna, inilah yang dimaksud dengan edan makna.
Sebaliknya suatu kata dapat pula dianalisis, dibitiri atau disebitkan satu persatu berdasarkan pengertian-pengertian yang dimiliki atau unsur-unsur maknanya untuk mengetahui perbedaan makna antara kata tersebut dengan kata lainnya yang berada dalam satu kelompok misalnya kata ayah memiliki komponen makna manusia, dewasa, jantan, kawin, punya anak,
Analisis komponen ini dapat dimanfaatkan untuk mencari perbedaan dari bentuk-bentuk yang bersinonim, membuat prediksi makna-makna gramatikal afiksasi, reduplikasi dak komposisi dalam bahasa indonesia, dan meramalkan makan gramatikal.

KESIMPULAN
Semantik adalah cabang linguistik yang mempelajari makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Semantik biasanya dikontraskan dengan dua aspek lain dari ekspresi makna: sintaksis, pembentukan simbol kompleks dari simbol yang lebih sederhana, serta pragmatika, penggunaan praktis simbol oleh agen atau komunitas pada suatu kondisi atau konteks tertentu.
Makna terbagi atas beberapa jenis, dintaranya adalah makna laksikal gramatikan dan kontekstual, makna referensial dan non referensial, makna denotatif dan konotatif, makna kata dan makna istilah, idiom dan peribahasa, dan makna konseptual dan assosiatif.
Relasi makna atau hubungan makna dibagi menjadi sinonim, antinim, polisemi, homonimi, redudansi, ambiguitas atau ketaksaan, dan hipinimi.
Perubahan makna disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan social budaya, pertukaran panca indera, dan adanya bentuk asosiasi antara ujaran yang satu dengan ujaran yang lain dan ujaran.
Medan makna adalah pengelompokan kata berdasarkan ciri dan unsur-unsur yang ada dalam kata tersebut. Sedangkan komponen merupakan unsur-unsur dan ciri-ciri makna tersebut sehingga kita dapat membedakan suatu makna dari sebuah kata yang bersinonim.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Abdul Wahab. 1995. Teori Semantik. Surabaya: Airlangga University Press.
Aminuddin. 1988. Semantik. Bandung: Sinar Baru.
Fathimah Djajasudarma. 1999. Semantik 2: Pemahaman Makna. Bandung: Refika Aditama.
Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar