Tokoh logika dan pemikirannya


  • Aristoteles, seorang filosof dan ilmuwan terbesar dalam dunia masa lampau, yang memelopori penyelidikan ihwal logika, memperkaya hampir tiap cabang falsafat dan memberi sumbangan-sumbangan besar terhadap ilmu pengetahuan. Pendapat Aristoteles, alam semesta tidaklah dikendalikan oleh serba kebetulan, oleh keinginan atau kehendak dewa yang terduga, melainkan tingkah laku alam semesta itu tunduk pada hukum-hukum rasional. Kepercayaan ini menurut Aristoteles diperlukan bagi manusia untuk mempertanyakan setiap aspek dunia alamiah secara sistematis, dan kita harus memanfaatkan  pengamatan empiris, dan alasan-alasan yang logis sebelum mengambil keputusan.
  • Raymundus Lullus mengembangkan metoda Ars Magna, semacam aljabar pengertian dengan maksud membuktikan kebenaran - kebenaran tertinggi. Francis Bacon mengembangkan metoda induktif dalam bukunya Novum Organum Scientiarum . W.Leibniz menyusun logika aljabar untuk menyederhanakan pekerjaan akal serta memberi kepastian. Emanuel Kant menemukan Logika Transendental yaitu logika yang menyelediki bentuk-bentuk pemikiran yang mengatasi batas pengalaman.
  • Poespoprojo menjelaskan bahwa pengetahuan merupakan hasil dari aktivitas berpikir yang menyelidiki pengetahuan yang berasal dari pengalaman-pengalaman konkret, pengalaman sesitivo-rasional, fakta, objek-objek, kejadian-kejadian atau peristiwa yang dilihat atau dialami. Logika bertujuan untuk menganalisis jalan pikiran dari suatu penalaran/pemikiran/penyimpulan tentang suatu hal. Poespoprojo menjelaskan tentang pikiran dan jalan pikiran dengan alur logika dan sistematika yang merupakan alur pikiran algoritmik sementara Olson menekankan pada pemecahan masalah lewat gagasan-gagasan yang diperoleh dengan jalan yang unik. Namun tetap berlandaskan pada sistematika dan logika

·         Olson tidak menerangkan definisi pemikiran dalam konteks logika namun menjelaskan pikiran dalam konteks kreativitas. Pembahasannya ditekankan pada bahasan mengenai pemecahan masalah dengan menempuh ‘jalan’ yang tidak biasa. Olson menggunakan aspek-aspek di luar pembahasan logika dan ilmu menalar yang hampir bisa disebut dengan logika transendental.

·         Marx dan Engels adalah murid Hegel di lapangan Logika. Dalam ilmu logika, mereka berdua lah yang kemudian melakukan revolusi pada revolusi Hegelian—dengan menyingkirkan elemen mistik dalam dialektikanya, dan menggantikan dialektika idealistik dengan sebuah landasan material yang konsisten.

·         Euklides melakukan hal yang sama untuk dasar-dasar geoemetri; Archimides untuk dasar-dasar mekanika; Ptolomeus dari Alexandria kemudian menemukan astronomi dan geografi; dan Galen untuk anatomi.

·         Hegel, seorang tokoh dari sekolah filsafat idealis (borjuis) di Jerman, adalah seorang guru besar yang pertama kali mentransformasikan ilmu logika, seperti di sebutkan oleh Marx: “bentuk-bentuk umum gerakan dialektika yang memiliki cara yang  komprehensif dan sadar sepenuhnya.”

·         Petrus Hispanus menyususn pelajaran logika berbentuk sajak. Petrus inilah yang mula-mula mempergunakan berbagai nama untuk system penyimpulan yang sah dalam perkaitan bentuk silogisme kategorik dalam sebuah sajak. Kumpulan sajak Petrus mengenai logika ini bernama Summulae.

·         Francis Bacon melancarkan serangan sengketa terhadap logika dan menganjurkan penggunaan system induksa secara lebih luas. Serangan Bacon terhadap logika ini memperoleh sambutan hangat dari berbagai kalangan di barat. Sehingga kemudian perhatian lebih ditujukan pada system induksi.

·         Leibniz menganjurkan penggantian pernyataan dengan symbol-simbol agar lebih umum sifatnya dan lebih mudah melakukan analisis. Demikian juga Leonhard Euler, seorang ahli matematika dan logika swiss melakukan pembahasan tentang term-term dengan menggunakan lingkaran-lingkaran untuk melukiskan hubungan antar term yang terkenal dengan sebutan sirkel-Euler.

·         John Stuart Mill mempertemukan system induksi dengan system deduksi. Setiap pangkal pikir besar di dalam deduksi memerlukan induksi dan sebaliknya memerlukan deduksi bagi penyusunan pikiran mengenai hasil eksperimen dan penyelidikan. Jadi kedua-duanya bukan bagian yang saling terpisah, tetapi sebetulnya saling membantu.

·         Cristian Wolff lebih dikenal sebagai pembela setia ajaran-ajaran Leibniz, namun di samping itu  ia juga cukup gigih mengembangkan logika-matematik system filsafat yang terkait dengan berbagai lapangan pengetahuan dengan mempergunakan sarana metode deduktif seperti yang dipakai dalam matematik.

·         Marx dan Engels adalah murid Hegel di lapangan Logika. Dalam ilmu logika, mereka berdua lah yang kemudian melakukan revolusi pada revolusi Hegelian—dengan menyingkirkan elemen mistik dalam dialektikanya, dan menggantikan dialektika idealistik dengan sebuah landasan material yang konsisten.

·         Theoprastus (371-287 sM), memberi sumbangan terbesar dalam logika ialah penafsirannya tentang pengertian yang mungkin dan juga tentang sebuah sifat asasi dari setiap kesimpulan. Kemudian, Porphyrius (233-306 M), seorang ahli pikir di Iskandariah menambahkan satu bagian baru dalam pelajaran logika. Bagian baru ini disebut Eisagoge, yakni sebagai pengantar Categorie. Dalam bagian baru ini dibahas lingkungan-lingkungan zat dan lingkungan-lingkungan sifat di dalam alam, yang biasa disebut dengan klasifikasi. Dengan demikian, logika menjadi tujuh bagian.

·         Al-Farabi (873-950 M) yang terkenal mahir dalam bahasa Grik Tua, menyalin seluruh karya tulis Aristoteles dalam berbagai bidang ilmu dan karya tulis ahli-ahli pikir Grik lainnya. Al-Farabi menyalin dan memberi komentar atas tujuh bagian logika dan menambahkan satu bagian baru sehingga menjadi delapan bagian.

·         John Venn (1834-1923), ia berusaha menyempurnakan analisis logik dari Boole dengan merancang diagram lingkaran-lingkaran yang kini terkenal sebagai diagram Venn (Venn’s diagram) untuk menggambarkan hubungan-hubungan dan memeriksa sahnya penyimpulan dari silogisme. Untuk melukiskan hubungan merangkum atau menyisihkan di antara subjek dan predikat yang masing-masing dianggap sebagai himpunan.

·         Thales (624 SM - 548 SM), filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan rahasia alam semesta. Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang berarti prinsip atau asas utama alam semesta. Saat itu Thales telah mengenalkan logika induktif.

Dalam logika Thales, air adalah arkhe alam semesta, yang menurut Aristoteles disimpulkan dari:

*       Air adalah jiwa tumbuh-tumbuhan (karena tanpa air tumbuhan mati)

*       Air adalah jiwa hewan dan jiwa manusia

*       Air jugalah uap

*       Air jugalah es

*       Jadi, air adalah jiwa dari segala sesuatu, yang berarti, air adalah arkhe alam semesta.

*       Sejak saat Thales sang filsuf mengenalkan pernyataannya, logika telah mulai dikembangkan. Kaum Sofis beserta Plato (427 SM-347 SM) juga telah merintis dan memberikan saran-saran dalam bidang ini.

  • Chares Sanders Peirce (1839-1914), seorang filsuf Amerika Serikat yang pernah mengajar di John Hopkins University,melengkapi logika simbolik dengan karya-karya tulisnya. Ia memperkenalkan dalil Peirce (Peirce's Law) yang menafsirkan logika selaku teori umum mengenai tanda (general theory of signs).

 

 

 

TEORI KEBENARAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU

PENDAHULUAN

            Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Banyak cara telah ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang terkadang melampaui penalaran rasional, kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti.

            Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan struktur yang terendah. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi. Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas. 

            Metode ilmiah yang dipakai dalam suatu ilmu tergantung dari objek ilmu yang bersangkutan. Macam-macam objek ilmu antara lain fisiko-kimia, mahluk hidup, psikis, sosio politis, humanistis dan religius. Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan.  Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis. Kerangka filsafat di atas akan memudahkan pemahaman mengenai keterkaitan berbagai ilmu dalam mencari kebenaran.

PEMBAHASAN

1)      Apakah Ilmu?

Ilmu merupakan suatu pengetahuan yang mencoba menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri. Penjelasan ini akan memungkinkan kita untuk meramalkan apa yang akan terjadi. Dengan demikian, penjelasan ini memungkinkan kita untuk mengetahui serta mengetahui perkembangan gejala tersebut. Untuk itu, ilmu membatasi ruang jelajah kegiatan pada daerah pengalaman manusia. Artinya, obyek penjelajahan keilmuan meliputi segenap gejala yang dapat ditangkap oleh pengalaman manusia lewat panca ideranya.

Secara epistemology, ilmu memanfaatkan dua kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indera. Epistemologi keilmuan pada hakikatnya merupakan gabungan antara pikiran secara rasional dan berpikir secara empiris. Kedua cara berpikir tersebut digabungkan dalam mempelajari gejala alam untuk menemukan kebenaran.

2)      Apakah Filsafat?

Filsafat secara etimologis berasal dari Bahasa Yunani Philosophia, Philos artinya cinta atau kecenderungan pada sesuatu, sedangkan Sophia artinya kebijasanaan. Dengan demikian secara sederhana filsafat dapat diartikan cinta atau kecenderungan pada kebijaksanaan.

Ada beberapa definisi filsafat yang telah diklasifikasikan berdasarkan watak dan fungsinya sebagai berikut:

1.      Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis (arti informal)

2.      Filsafat adalah sesuatu proses kritik atau pemikiran terhadap kritis terhadap kapercayaan dan sikap tang sangat kita junjung tinggi.

3.      Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Dalam arti berusaha untuk mengkombinasikan hasil sains dengan pengalaman manusia.

4.      Filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep.

5.      Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat perhatian dari manusia yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.

3)      Apakah Filsafat Ilmu?

Setiap individu mempunya pandangannya sendiri tentang sesuatu, demikian pula dengan filsafat. Berbeda inspirasi beda pula yang akan dihasilkan dari perolehan inspirasinya itu. Tak lain halnya dengan pandangan para ahli filsafat dalam mendefinisikan filsafat ilmu. Banyak pendapat yang berkkaitan dengan pengertian filsafat ilmu, diantaranya adalah:

Ø  Robert Ackermann: filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini yang dibandingkan dengan pendapat-pendapat terdahulu yang telah dibuktikan.

Ø  Lewis White Beck: filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah, serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan.

Ø  Cornelius Benjamin: filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan praanggapan-praanggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual.

Ø  May Brodbeck: filsafat ilmu itu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan, dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu.

Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan tentang ruang lingkup filsafat ilmu yang meliputi: komparasi kritis sejarah perkembangan ilmu, sifat dasar ilmu pengetahuan, metode ilmiah, praanggapan-praanggapan ilmiah, dan sikap etis dalam pengembangan ilmu pengetahuan.

4)      Apakah Kebenaran?

Tentang kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) (Syafi’i, 1995).

Dalam teori keilmuan (ilmiah) kebenaran tidak bersifat mutlak ataupun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo, 1985:238-239). 

Selaras dengan Poedjawiyatna (1987:16) yang mengatakan bahwa persesuaian antara pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah pengetahuan obyektif.

Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita yakini sebagai suatu kebenaran mungkin suatu saat akan hanya merupakan pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang lebih sejati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia yang transenden, dengan kata lain, pencarian kebenaran suatu ilmu bertalian erat dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat diluar  jangkauan manusia.

5)      Teori Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Dalam menguji suatu kebenaran diperlukan teori-teori ataupun metode-metode yang akan berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi jalannya pengujian tersebut. Berikut ini beberapa teori tentang kebenaran dalam perspektif filsafat ilmu:

a)      Teori Korespondensi

Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi (berhubungan) terhadap fakta yang ada. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi (ungkapan atau keputusan) adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan. 

Ujian kebenaran yang di dasarkan atas teori korespondensi paling diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang dijadikan pertimbangan itu, serta berusaha untuk melukiskannya, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu (Titus, 1987:237).

Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dan sesuai dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut (Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “matahari terbit dari timur” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan tersebut bersifat faktual, atau sesuai dengan fakta yang ada bahwa matahari terbit dari timur dan tenggelam di ufuk barat.

Menurut teori korespondensi, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah(Jujun, 1990:237).

b)     Teori Koherensi atau Konsistensi

Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain. Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar (Jujun, 1990:55)., artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika.

Suatu kebenaran tidak hanya terbentuk karena adanya koherensi atau kensistensi antara pernyataan dan realitas saja, akan tetapi juga karena adanya pernyataan yang konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Dengan kata lain suatu proposisi dilahirkan untuk menyikapi dan menanggapi proposisi sebelumnya secara konsisten serta adanya interkoneksi dan tidak adanya kontradiksi antara keduanya.

Misalnya, bila kita menganggap bahwa “maksiat adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “mencuri adalah perbuatan maksiat, maka mencuru dilarang oleh Allah” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.

Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar  dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut (Titus, 1987:239)

Teori Pragmatik

Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis (Jujun, 1990:57)

Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada peran fungsi dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Teori ini juga dikenal dengan teori problem solving, artinya teori yang dengan itu dapat memecahkan segala aspek permasalahan.

Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak.

Francis Bacon pernah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari keuntungan-keuntungan untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi. Ilmu pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan manusia. Dengan kata lain ilmu pengetahuan manusia adalah kekuasaan manusia. Hal ini membawa jiwa bersifat eksploitatif terhadap alam karena tujuan ilmu adalah mencari manfaat sebesar mungkin bagi manusia. 

d)     Teori Performatif

Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Contohnya mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh pemegang otoritas tertentu walaupun tak jarang keputusan tersebut bertentangan dengan bukti-bukti empiris.

Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya. 

Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.

e)      Teori Konsensus

Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama.

Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas.

KESIMPULAN

            Bahwa kebenaran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek serta tingkatan validitasnya. Kebenaran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan atas sesuatu itu. Bahwa kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek tentang sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita, perisitwa, nilai-nilai (norma dan hukum) yang bersifat umum.

Bahwa kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula yang mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan lahiriah, jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupkan pemahaman potensi subjek (mental, rasio, intelektual).

Bahwa substansi kebenaran adalah di dalam intaraksi kepribadian manusia dengan alam semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang menjangkaunya. Semua teori kebenarn itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.

Daftar Pustaka

Jujun S. Sumiasumantri (ed), Ilmu dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia, cet. 6, 1985.

I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat, Jakarta: Bina Aksara.1987.

Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

www.filsafat-ilmu.blogspot.com

www.kabarindonesia.com